Gubuk liar di tepian rel kereta api Stasiun Jatinegara. Malam telah larut. Hujan baru mereda. Hawa dingin sekali. Ocim, bocah 9 tahun, mengerang sakit. Badannya menggigil demam. Emak terus mengompres kepalanya dengan air dingin. Berkali-kali emak melihat ke jalan, ada yang ia tunggu.
“Mak, kepalaku sakit. Perutku lapar sekali,” erang Ocim. Emak menenangkan, “Iya, nanti bapak pulang bawa obat, Nak. Kak Atun sebentar lagi juga datang bawa makanan. Banyak sekali. Ocim boleh makan semuanya.”
Ocim diam sejenak. “Kalau Ocim makan semuanya, nanti emak sama bapak enggak kebagian dong.”
Emak mencium kening Ocim. Sejak kemarin mereka berdua belum makan. Di gubuk itu tak ada lagi yang bisa dimakan. Emak tak punya uang sama sekali. Biasanya, ada sedikit uang hasil Ocim menyemir di pasar. Namun, sudah tiga hari ini anak rajin itu tak bisa bekerja karena sakit demam. “Nak, emak akan makan sedikit sekali. Kak Atun juga mungkin masih kenyang. Bapak pasti sudah makan sebelum pulang. Nah, Ocim boleh makan sepuasnya.”
Ocim merenung. “Mak, kalau Ocim enggak habis, nanti si Udin dikasih ya,” Emak mengangguk. “Si Udin baik, Mak. Kalau Ocim lagi malas nyemir, dia pinjam kotak semir Ocim, nanti duitnya dikasih ke Ocim semuanya. Dia enggak minta upah.”
“Iya, Ocim juga harus begitu, harus mau menolong orang.”
Ocim menggeser badannya mendekat ke emak, “Waktu adiknya Udin sakit, semua uang Ocim dikasihkan ke Udin buat beli obat. Ocim ngaku ke emak, hari itu enggak dapat semiran.”
“Oh, yang minggu lalu? Kenapa enggak bilang terus terang? Emak enggak akan marah kalau memang uang Ocim digunakan untuk kebaikan.”
Ocim setengah berbisik, “ Ocim minta maaf, Mak.”
Ibu mengelus kepala Ocim. “Nah, pusingnya sudah agak berkurang, kan? Sekarang tidurlah. Nanti kalau Kak Atun pulang mulung bawa makanan, emak bangunkan, deh.” Emak merapatkan sarung butut Bapak untuk menyelimuti Ocim.
Ocim pun lekas terlelap. Dalam tidur, ia tersenyum. Mungkin hatinya telah lega.
Catatan & Moral Cerita:
Berbagi pada kawan yang membutuhkan adalah perbuatan mulia.