Kuji, si kumbang kotoran, dengan bersemangat mengisi harinya. Pagi itu, di hutan Alas Roban, Batang, Jawa Tengah, Kuji berniat mengumpulkan banyak bola kotoran untuk mengisi gudang bawah tanah mereka.
Dengan penuh semangat, Kuji terus menggelindingkan bola kotoran yang beratnya bisa 50 kali lebih berat daripada bobot Kuji. Tanpa sadar, dia melewati gerombolan semut hitam.
“Idih, bau!” Sera, salah satu semut di sana, meledek Kuji.
Kuji pun berhenti, “Apa katamu?”
“Bau! Kamu jorok, bermain-main dengan kotoran!” tukas Sera.
“Aku tidak sedang bermain-main, kotoran ini akan menjadi persediaan pangan di gudang,” jelas Kuji.
Tetapi, semut-semut itu tidak mau mendengarkan penjelasan Kuji. Mereka malah terus mengejeknya.
Kuji merasa sedih karena semut-semut tidak mau mengerti, apalagi mau diajak berteman.
“Sudahlah Kuji, jangan sedih. Aku mau berteman denganmu,” Won, si tawon terbang menghampiri. “Teruskanlah pekerjaanmu. Kau ini seorang yang rajin. Andai saja aku bisa membantumu.”
“Ah, tidak usah tawon. Kamu kan tidak punya tangan seperti tanganku,” Kuji mengangkat kedua lengannya yang kuat dan panjang. Setiap makhluk sudah diberikan bentuk tubuh dan kemampuan sesuai kebutuhan mereka.”
“Wah, kamu sungguh bijak, Kuji. Ucapanmu tadi menandakan bahwa dirimu baik hati,” puji Won tawon.
“Ah, kamu bisa saja tawon,” Kuji tersipu malu.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dan hiruk-pikuk dari kejauhan.
“Ada apa ya?” Kuji dan Won berpandangan heran. Mereka langsung terbang menuju sumber suara tadi. Ternyata, di sana ada seekor belalang raksasa sedang mengambil makanan milik para semut yang sudah dikumpulkan dengan susah payah.
“Hei, kamu tidak boleh begitu,” seru Kuji sembari menghampiri. Melihat kedatangan Kuji, si belalang yang hendak melawan langsung kabur karena tak tahan dengan bau tubuh Kuji.
“Hore!” kawanan semut sangat senang melihat belalang itu pergi. Dengan perasaan malu dan menyesal, mereka menghampiri Kuji untuk meminta maaf karena sudah menyakiti perasaannya.
Catatan & Moral Cerita:
Jangan menghina orang lain hanya karena terlihat buruk rupa. Di balik sosok yang buruk rupa, bisa saja tersimpan hati yang mulia.