Siang itu di sebuah rumah singgah di Jakarta, tampak beberapa anak kurang mampu sedang bermain-main.
“Siapa mau pinjam buku?” tiba-tiba seorang anak perempuan berpakaian bagus datang ke rumah singgah.
“Aku mau pinjam, Kak,” ujar Dito salah seorang anak di rumah singgah.
“Akh, kamu Dito! Anak-anak di sini kan pada tidak sekolah. Tidak bisa baca,” ujar Lili, seorang anak tuna netra di rumah singgah. Sesungguhnya, Lili iri. Pasti dalam buku itu banyak cerita menarik. Sayangnya, Lili tak bisa melihat, apalagi membacanya.
“Ya sudah, kalau belum pada bisa baca, aku bacakan, ya,” kata Arin, si anak perempuan berpakaian bagus itu. Arin memang dari keluarga berada. Ia bersimpati pada anak-anak di rumah singgah.
"Di sebuah istana tinggallah seorang putri...”
“Yang cantik, baik hati dan penolong,” potong Lili. “Bosan, ah dengar cerita itu,” omel Lili.
“Tapi cerita ini lain, lho. Ini kisah putri yang pemberani dan tangguh, yang berjuang mewujudkan mimpi.”
Namun, Lili menukas. “Mimpi? Kalau aku bilang, aku ingin melihat dunia, apa itu akan terjadi?”
Arin diam sebentar lalu berkata, “Aku bisa membantumu. Aku akan membacakan buku setiap hari untukmu. Dari buku kamu bisa melihat dunia,” ujar Arin.
Lili akhirnya tersenyum. Tawaran Arin sangat menarik.
Besok siangnya, Arin kembali datang untuk membacakan buku untuk Lili. Setelah membaca buku, Arin dan Lili berbincang.
“Kalau besar nanti, aku mau jadi guru,” kata Lili sehabis Arin membacakan cerita tentang Ibu Kartini yang mendirikan sekolah untuk para perempuan. “Tapi… mana ada guru yang buta?”
“Tentu saja ada. Kamu, Li,” sergah Arin. “Aku punya sesuatu buatmu.” Arin meletakkan sebuah buku di pangkuan Lili.
Lili meraba buku itu. Ada titik-titik membentuk pola dalam lembaran-lembaran buku. “Apa ini?” tanya Lili.
“Namanya huruf Braille. Huruf khusus untuk tunanetra. Supaya kamu juga bisa baca buku,” jelas Arin.
“Bagaimana cara membacanya?”
“Sini, aku ajari,” ujar Arin membimbing tangan Lili. “Yang ini huruf A, lalu ini B, C…”
Mulut Lili komat-kamit menghapal huruf-huruf Braille itu.
“Dari mana kamu tahu huruf ini?” tanya Lili penasaran.
“Tanteku. Seorang guru yang mengajar anak-anak tuna netra. Kelak, kamu bisa seperti dia,” kata Arin.
Hati Lili berdebar senang. Ia kini punya harapan untuk bisa membaca buku.
Tiba-tiba, Lili ingat cerita yang dibaca Arin tadi.
“Arin, kamu adalah Kartini bagi-ku,” ujar Lili. “Berkat kamu, aku yakin bisa menjadi guru kelak.”
Arin tersenyum senang. Hatinya bahagia.
Meskipun kita punya kekurangan, tetapi jangan berputus asa. Selalu ada jalan bagi mereka yang ingin maju.
Tanggal 21 April diperingati di Tanah Air sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa RA Kartini yang memperjuangkan kemajuan wanita dan perbaikan kondisi masyarakat Indonesia.