AUDIO

Mantri Kunyit

Penulis: Haya Aliya Zaki


“Aduuuh, baru pertama kali liburan di desa sudah mulas begini, sih!” gerutu Shinta sambil memegangi perutnya yang dari tadi serasa melintir.

“Lho, kok, liburan di desanya yang disalahkan?” tegur Mama, tetapi dengan wajah cemas. Memang baru kali ini Mama dan Papa mengajak Shinta liburan seminggu di Cawas, Klaten, Jawa Tengah, desa tempat tinggal Mbah Kakung dan Mbah Putri.

Papa ikut-ikutan cemas.

“Kita bawa ke dokter sekarang, Pak. Kasihan Shinta kesakitan begitu,” kata Mama lagi.

Mbah Kakung menggeleng, kemudian menyahut, “Di sini ndak ada dokter, Git. Adanya mantri. Sini, Bapak antar Shinta….”

Kring! Kring! Dering bel sepeda memotong pembicaraan mereka.

“Mbah, maaf datang malam-malam. Ini saya bawakan getuk singkong buatan Ibu. Mumpung masih hangat.” Terdengar suara anak laki-laki. Anak laki-laki itu seumuran Shinta.

“Wah, wah, kowe baik sekali, Le. Terima kasih, yo.” Mbah Kakung menepuk-nepuk pundak Tomo, anak laki-laki itu.

“Aduuuh ….” Shinta mengerang lagi.

“Lho, ada yang sakit toh, Mbah?” Tomo melongok ke arah dipan.

Mbah Kakung mengangguk. Begitu Mbah Kakung selesai menjelaskan, Tomo meraih sepedanya. “Saya mau ambil sesuatu di pekarangan, Mbah! Nanti saya balik lagi ke sini!” teriak Tomo.

Tak lama, Tomo datang membawa… hei, apa itu? Bumbu dapur!

“Setiap saya sakit perut, Ibu memberikan air rebusan kunyit dan gula merah. Mudah-mudahan sembuh, Mbah.” Tomo kemudian mengiris-iris kunyit yang dibawanya dengan pisau. Dia tidak peduli jarinya jadi kuning-kuning. Gayanya sudah seperti mantri cilik saja. Mbah Putri membantu menjerang air.

Keesokan hari, Shinta bangun pagi dengan wajah segar. Perutnya sudah enakan.

Tomo pun pagi itu datang menengok Shinta. “Desa kami pernah kekeringan. Semenjak bencana itu, saya dan teman-teman membentuk kelompok Hati Bumi. Kami ingin benar-benar mencintai Bumi dengan hati. Kami menanami pekarangan dengan kunyit, lengkuas, jahe, macam-macam. Kami sering bikin kegiatan, contohnya sekarang ini. Ramai-ramai membuat tas kain sebagai pengganti kantong plastik untuk berbelanja. Kamu boleh bawa beberapa ke Jakarta kalau kamu mau,” jelas Tomo panjang lebar.

“Aku mau banget! Tas kainnya bagus-bagus! Teman-temanku pasti suka!” Mata Shinta berbinar. “Terima kasih, Mantri Kunyit!”

Tomo tertawa. “Huuu… bisa saja kamu!”

Dengan wajah jenaka, Shinta mencangklong lima tas kain sekaligus ke bahunya.

Bencana alam seperti banjir, longsor, dan lain-lain sebenarnya akibat ulah manusia. Sayangi Bumi, maka Bumi akan menyayangi kita.

Hari Bumi diperingati setiap tanggal 22 April di seluruh dunia. Hari Bumi bertujuan memberikan dukungan bagi perlindungan lingkungan.