Aku adalah seorang ketua kelas di SDN 15 PJKA, Padang, Sumatera Barat. Baru seminggu ini di kelas, ada seorang anak baru, namanya Agus Santoso. Ia pindahan dari Surabaya, Jawa Timur. Namun, di kelas, Agus tidak banyak bicara. Hal itu membuat teman-teman menganggapnya sombong.
“Ado apo? Kenapo ketua diam?” (Ada apa? Kenapa ketua diam) tanya Buyung kepadaku.
“Itu ha! Si Agus, ko inyo diam sajo,” (Itu lah! Si Agus kok hanya diam saja) jawabku.
Sebagai ketua kelas, aku merasakan ada sesuatu yang membuat Agus tidak nyaman. Aku kemudian menanyakannya langsung ke Agus. “Agus, kalau boleh tahu. Kenapa
Agus tidak berbaur dengan kami?”
“Aku bingung mau bicara dengan siapa. Teman-teman semuanya menggunakan bahasa Minang,” jawab Agus. Ternyata, satu minggu ini Agus menjadi anak yang pendiam hanya karena tidak mengerti bahasa Minang.
Di sekolahku, bahasa Minang menjadi bahasa yang dominan digunakan. Bahasa Indonesia hanya kami gunakan sesekali, itu pun jika ada pelajaran bahasa Indonesia.
Sebagai ketua kelas, aku ingin membantu Agus berbaur dengan semuanya. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku berdiri di depan kelas, lalu berbicara dengan suara lantang.
“Teman-teman, saat ini, kita memiliki seorang teman yang berasal dari Surabaya. Ia tidak mengerti bahasa Minang. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita menggunakan bahasa Indonesia di kelas agar Agus bisa berbaur dengan kita semua. Kalian ingat tidak, Sumpah Pemuda yang ketiga yang berbunyi, ‘Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia!’”
Teman-temanku sempat diam mendengar kata-kataku. Namun, kemudian mereka mengangguk-angguk.
“Benar, kata Ketua. Di tengah keberagaman bangsa Indonesia, kita sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, semuanya bisa berkomunikasi dengan lancar tanpa ada yang harus tidak mengerti,” kata Buyung.
“Iya, setuju. Bahasa Minang, boleh saja tetap kita pakai. Namun, yang utama, kita menggunakan bahasa Indonesia. Suatu saat, siapa tahu kita harus merantau keluar Padang, kan yang dipakai Bahasa Indonesia,” timpal Afdal.
Agus yang sedari tadi diam, kemudian berkata, “Terima kasih teman-teman atas pengertiannya.”
Sejak itu, Agus tidak lagi penyendiri. Ia cepat berbaur dengan semua teman di kelas dengan menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Namun, Agus juga mau belajar bahasa Minang. Karena bagaimanapun, budaya berbahasa daerah juga harus tetap dilestarikan.
Walaupun Indonesia terdiri atas suku bangsa yang berbeda-beda, kita harus tetap menjaga kesatuan dan persatuan kita layaknya semangat Sumpah Pemuda.
28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda di Tanah Air. Sejarahnya, pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, para pemuda Indonesia melakukan ikrar untuk bersatu dan berjuang bersama-sama merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.