Di sebuah rumah di Karawaci, Tangerang, Banten, seorang anak perempuan sedang berdialog dengan ibunya. “Bu, kapan kita membeli baju baru untuk Misa Natal besok?” tanya Kinar pada ibu.
Ibu menghela napas. “Natal kali ini, Kinar tidak membeli baju baru dulu, ya. Ibu sama Bapak baru melunasi biaya studi wisata kamu. Baju Kinar juga banyak dan masih bagus-bagus, kan?”
“Tapi, Bu, teman-teman pasti memakai baju baru. Kinar malu kalau sendirian pakai baju lama,” rajuk Kinar.
“Lho, memangnya saat Misa nanti, kalian akan berisik meributkan baju baru bukannya khusyuk berdoa?” tanya ibu.
“Ah, Ibu kuno!” Kinar meninggalkan ibu, lalu pergi bermain.
Kinar sudah membayangkan sebuah gaun cantik berwarna merah seperti gaun putri kerajaan. Tapi, ibu malah tidak mau membelikannya. Kalau tidak memakai baju baru, bukan Natalan namanya, pikir Kinar.
Tiba-tiba Kinar melihat Sasa teman sekelasnya sedang membawa banyak kertas kado.
“Sasa, main yuk!” Kinar melambaikan tangannya pada Sasa.
Sasa pun menghampiri Kinar, “Maaf, Kinar. Hari ini aku ada tugas penting. Oh iya, kamu mau membantu aku?” ajak Sasa.
“Membantu apa?” tanya Kinar penasaran.
“Nanti kamu juga akan tahu, yuk!”
Di ruang tamu rumah Sasa, berserakan berbagai macam peralatan sekolah, kotak makan, dan tempat minum. “Tolong bantu aku membungkus kado, ya,” pinta Sasa.
“Untuk siapa kado sebanyak ini, Sa?” tanya Kinar.
“Setiap Natal, aku menyumbang kado ke panti asuhan. Ini hasil dari tabunganku sendiri selama satu tahun, lho,” ujar Sasa bangga.
Kinar mengambil sebuah kotak pensil lalu membungkusnya. “Kamu sudah beli baju baru buat Misa besok, Sa?” Kinar kembali teringat masalahnya.
“Oh, aku enggak beli baju baru. Kasihan Ayah dan Ibuku baru membayar biaya studi wisata yang tidak sedikit,” jawab Sasa.
Kinar hanya terdiam mendengarnya.
Sasa lalu berkata lagi, “Bajuku masih banyak yang bagus, kok. Ayahku juga pernah bilang bahwa arti Natal yang sesungguhnya adalah berbagi dengan sesama dan kebersamaan, bukan sekadar baju baru. Aku masih bisa merayakan Natal bersama Ayah dan Ibu, sementara mereka anak-anak yatim piatu tidak bisa merayakannya dengan orangtua mereka.”
Kinar jadi malu mendengarnya. Ia semestinya bersyukur bisa merayakan Natal lengkap bersama keluarganya, bukan malah meributkan baju baru.
“Sa, aku boleh ikut ke panti asuhan, enggak?” tanya Kinar.
“Boleh, dong!” jawab Sasa.
“Natal tahun depan, aku juga akan menyumbang kado ya, Sa,” sahut Kinar lagi.
Sasa mengangguk senang.
Natal selayaknya dirayakan dengan penuh syukur dan berbagi kepada sesama.