Kriiing! Bel istirahat makan siang di sebuah sekolah dasar di Sidikalang, Sumatera Utara, berbunyi nyaring. Anak-anak langsung berhamburan ke kantin sekolah.
Seperti biasa, Dame beraksi. Dia menyalip kawan-kawan yang sedang mengantre menunggu jatah makan siang dari Namboru Lasma, ibu kantin. Tahu-tahu saja anak perempuan bertubuh bongsor itu sudah berdiri di baris paling depan.
“Alamak, jangan seperti itulah, Dame!” protes Ika kesal.
“Hei, Dame. Baris di belakanglah! Antre!” timpal Binsar tak kalah kesal.
Dame melihat ke belakang, kemudian meledek, “Antre itu bikin lama! Aku sudah lapar, kawan!”
“Loh, memangnya kami tidak lapar?” sambar Maruli geram. Suasana kantin sekolah pun mendadak riuh.
“Kita harus kasih Dame pelajaran,” keluh Ika sambil mengaduk-aduk sayur daun ubi tumbuk kesukaannya.
“Boha do carana ate (bagaimana caranya)?” tanya Maruli.
Semua terdiam. Tiba-tiba, Binsar menjentikkan jari. “Nah, aku tahu!” serunya.
Keesokan harinya, anak-anak mengantre seperti biasa di kantin sekolah. Sudah mereka duga, tak lama Dame datang menyerobot antrean.
“Namboru, mana makan siangku, Namboru?” kejar Dame tak sabar. Dia melihat Namboru Lasma terus saja sibuk melayani kawan-kawan di belakangnya.
Namboru Lasma tersenyum. “Kalau mau dapat jatah makan siangmu, kau harus antre seperti kawan-kawanmu yang lain!”
Dame berkacak pinggang marah. Bukannya mengantre, dia malah berbalik dan lari ke kelas.
Keesokan hari, terjadi lagi. Terulang kembali pada hari yang lain. Namboru Lasma selalu melewati giliran Dame walaupun ia sudah berdiri di baris paling depan. Sesuai usul Binsar dan kawan-kawannya, Namboru Lasma tidak akan melayani kalau Dame tidak mau mengantre. Dame kembali ke kelas. Dia menangis karena perutnya lapar sekali.
Ika, Binsar, dan Maruli mendatangi Dame. Meski Dame sering berbuat ulah, mereka tetap kasihan.
“Tidak enak diperlakukan seperti ini. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan kalian,” kata Dame lirih.
“Antre jangan dijadikan beban, Dame. Kata Bapakku, kalau kita sabar mengantre, semua urusan bisa cepat selesai. Kita pasti senang, kan, melihat suasana yang tertib?” kata Binsar, seperti orang tua.
Dame tertunduk malu.
“Mulai saat ini, kau mau tidak, antre makan siang bersama kami?” ujar Ika.
Dame langsung mendongak. “Ya maulah! Soalnya aku kapok kelaparan lagi! Tapi, kalian juga mau memaafkan aku, kan?”
“Tentu saja. Asal… kau traktir kami makan siang mi gomak hari ini di kantin, ya?” canda Maruli.
Dame mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk. Kawan-kawannya tertawa.
Mari kita membudayakan mengantre dengan tertib. Dengan mengantre, kita bisa belajar untuk mengatur waktu dengan baik, dan belajar menghargai hak orang lain.