Di sebuah rumah makan di daerah Sumatera Barat, semenjak tadi Syifa memperhatikan seorang kakek tua yang duduk di samping rumah makan. Kakek itu sedang memainkan sebuah alat musik tiup berbentuk unik. Bentuknya memang seperti seruling, tetapi suaranya sama sekali tidak mirip dengan seruling.
“Ayah, itu alat musik apa?” Syifa bertanya kepada Ayahnya yang sedang makan.
“Itu serunai.” Ayah menjawab pendek.
Syifa mengangguk. Sejujurnya ia masih penasaran dengan alat musik itu, tapi ayahnya sedang sibuk makan.
Dalam perjalanan pulang di mobil, Syifa masih penasaran dengan alat musik tadi. “Ayah, kenapa orang-orang jarang memainkan alat musik serunai itu? Syifa saja baru melihatnya?”
“Serunai itu susah sekali dimainkan, Syifa. Sekarang tinggal orang-orang tua yang masih mau memainkannya,” Ayah menjawab sambil menyetir.
“Oh, zaman ayah kecil dulu, banyak orang yang memainkan serunai, ya, Yah?” Syifa bertanya lagi. Ayah pun menganggukkan kepalanya.
“Ayah juga bisa kok memainkan serunai” lanjut ayahnya bangga.
“Ayah belajar dari mana?” Syifa bertanya.
“Dari kakekmu,” Ayah menjawab.
“Wah, aku diajarkan dong, Yah. Tadi Syifa mendengar, suara dari alat musik serunai itu bagus, seperti suara keyboard,” pinta Syifa.
“Oh, boleh saja, Syifa!,” jawab ayahnya. “Ayah senang, kamu mau mencoba belajar alat musik serunai. Karena ayah prihatin, anak-anak muda di daerah kita ini, sekarang sudah jarang ada yang mau belajar memainkan serunai. Mereka sudah tergiur dengan teknologi, dan tidak mau memedulikan budaya kita lagi!”
Lalu ayahnya berkata lagi, “Ayah harap kamu tidak seperti mereka-mereka, Syifa. Ayah ingin memiliki anak yang masih peduli dengan budaya kita. Boleh main teknologi, main gadget, tapi jangan lupakan budaya leluhur nenek moyang kita sendiri!”
Syifa pun menganggukkan kepalanya.
Tak terasa malam sudah tiba. Syifa memerhatikan ayahnya bermain serunai dengan anggunnya. Syifa terlena dengan suara indah alat musik itu, seakan suara merdu itu adalah suara aliran sungai yang begitu indah.
Syifa terus memandangi ayahnya dengan kagum.
Setelah itu, Syifa pun mulai belajar memainkan alat musik serunai dari ayahnya. Ayahnya pun mengajarinya dengan sabar.
Meski sulit, Syifa yakin, dirinya akan segera bisa memainkan alat musik serunai. Dalam hatinya, Syifa juga bertekad, kalau ia nanti sudah bisa memainkan serunai, ia akan mengajak teman-temannya untuk belajar memainkan alat musik itu. Jadi, ia bisa turut melestarikan budaya bangsa, seperti harapan ayahnya.
Mari kita cintai dan lestarikan kekayaan budaya bangsa kita sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?