Pagi itu Desa Sedaro Putih, Bengkulu, begitu cerah. Secerah pipi Lamakka yang ceria. Karena pada hari itu Lamakka diajak oleh ayahnya ke hutan untuk belajar memanjat pohon sedaro putih, atau pohon enau.
Pohon sedaro putih memang banyak tumbuh di desa itu. Pohonnya tinggi menjulang seperti pohon kelapa. Jadi, bagi siapa yang ingin memanjat pohon itu harus memiliki keberanian dan keterampilan khusus.
“Ayah, pohonnya tinggi-tinggi, ya?” tanya Lamakka saat tiba di hutan.
“Iya, Nak!” seru Ayah.
“Apa kamu berani untuk memanjatnya sekarang, Nak?” lanjut Ayah.
Lamakka diam sejenak. Tiba-tiba muncul keraguannya memanjat.
Pohon sedaro putih itu menghasilkan nira. Nira adalah cairan untuk pembuatan gula merah. Hampir semua penduduk di Desa Sedaro Putih adalah pembuat gula merah. Seperti ayah Lamakka.
“Baik, aku siap, Ayah!” seru Lamakka. “Aku berani!” lanjutnya lantang.
Lamakka pun mulai memanjat. Saat pertama kali memanjat itu, ia belum bisa sampai jauh memanjat karena di tengah-tengah pohon itu Lamakka sudah berhenti.
Ayahnya pun kemudian mencontohkan bagaimana cara memanjat pohon itu. Lamakka setelah itu mencoba lagi memanjat setinggi mungkin. Namun, berkali-kali ia mengulang memanjat, ia masih belum bisa sampai pada ujungnya pohon sedaro putih. Artinya, ia juga belum bisa meraih dan menyadap nira.
Ayahnya tak tega melihat Lamakka mulai kelelahan.
“Untuk hari ini belajar memanjatnya kita sudahi ya, Nak,” ujar Ayah.
“Ya, Ayah! Besok kita coba lagi.”
Esok harinya, Ayah dan Lamakka kembali ke hutan. Lamakka kembali belajar memanjat pohon sedaro putih.
Tapi baru satu, dua sampai tiga kali memanjat Lamakka sudah terjatuh dan turun kembali dari pohon. Tapi, ia pantang menyerah. Aku harus bisa memanjat biar bagamana pun, begitulah tekadnya.
Apalagi sebagai anak laki-laki di desanya ia harus bisa memanjat pohon penghasil gula merah itu.
“Ayo, Lamakka….Kamu bisa, Nak!” Ayah menyemangati.
Beberapa kali Lamakka kembali terjatuh. Namun, akhirnya ia bisa juga mencapai ujung pohon itu. Ia sangat senang karena telah berhasil memanjat pohon sedaro putih!
“Ayah! Lamakka, sekarang bisa memanjat!” teriak Lamakka.
Ayah Lamakka begitu terharunya. Ternyata anak lelaki semata wayangnya itu sudah bisa memanjat pohon sedaro putih. Dan, Ayah sekarang sudah tidak perlu khawatir lagi, kalau suatu saat ayah harus berhenti memanjat, karena usia tua. Karena kini Lamakka sudah bisa menggantikannya.
Sejak saat itu, Lamakka sudah pandai memanjat pohon sedaro putih. Bukan hanya itu saja, ia juga mulai pandai menyadap nira dan membuat gula merah.
Sebuah pekerjaan, jika dilakukan dengan gigih, sungguh-sungguh, dan terus dilatih, akan menghasilkan keberhasilan!