Sore itu di Desa Bajo Indah, Sulawesi Tenggara, sedang ramai karena musim pongka yang ditunggu pun tiba. Musim di mana ikan-ikan mengikuti arah angin timur. Saat itulah waktu yang tepat untuk melaut menangkap ikan.
Anak-anak laki-laki seusia sekolah dasar di desa itu juga sudah mulai ikut melaut bersama para ayah. Termasuk Odang yang tidak mau ketinggalan untuk ikut melaut bersama ayahnya. Maklumlah rumah mereka dekat sekali dengan laut, apalagi mata pencaharian keluarga mereka adalah menangkap ikan untuk dijual ke palele atau para pengumpul ikan di daratan.
“Kamu sudah siap, Nak?” tanya ayah.
“Siap, Ayah!”
Usai itu, Odang dan ayahnya pun berangkat melaut. Tapi belum sampai perahu mereka jauh melaut, Odang ternyata mengalami mabuk laut. Kepalanya pusing disertai muntah-muntah. Ayah langsung membaluri balsem di leher, hidung, dan perut Odang agar rasa pusing dan mualnya hilang.
“Sudah, Ayah! Aku sudah baikan, kok.”
“Apa lebih baik kita kembali ke daratan saja, Nak? Kamu bisa beristirahat di rumah, nanti biar Ayah sendiri yang melaut,” kata ayahnya.
“Tidak, Yah! Aku tetap ikut melaut bersama Ayah. Masa karena mabuk laut saja aku menyerah, apalagi sebagai anak Bajo aku kan ingin menjadi pelaut ulung."
“Ya, sudah kalau begitu. Kita lanjutkan melaut hari ini.”
“Siap, Yah!”
Cukup lama ayah dan Odang melaut. Akhirnya, mereka mendapatkan begitu banyak ikan hasil dari melaut. Usai itu, mereka langsung kembali ke daratan.
“Banyak juga ya, Yah, tangkapan kita hari ini,” ujar Odang saat turun dari perahu.
Tapi saat mereka turun dari perahu, Odang melihat Popo, teman bermainnya sedang menangis di pinggir pantai. Odang lalu menghampirinya.
“Kenapa kamu menangis, Po?” tanya Odang.
“Ayahku sakit, Dang! Makanya, aku bingung untuk membeli obat, sedangkan kami tidak melaut. Jadi, bagaimana mendapatkan uang?” ujar Popo sesegukkan.
Odang lalu terdiam sejenak. Kemudian, ia berkata sesuatu kepada ayahnya. Ayahnya pun terlihat mengangguk.
“Popo. Ini ikan hasil melautku bersama ayahku. Kamu jual saja ikan hasil tangkapan kami ini. Lalu belikan obat untuk ayahmu.”
“Ta-Tapi, Odang…?”
“Iya, jual saja untuk beli obat ayahmu yang sakit,” timpal ayah Odang.
“Te-terima kasih, Pak. Terima kasih, Odang. Kamu sungguh teman baikku. Kalau begitu, aku jual ikan dulu ya...” kata Popo sambil menyalami tangan Odang, lalu mencium tangan ayahnya Odang.
Setelah Popo berlalu, ayah pun memberikan jempol pada Odang. Tanda ayah memuji sikap anaknya. Odang tersenyum lega karena hasil melaut bersama ayah bisa membantu kesulitan Popo, teman mainnya.
“Yah, kita besok melaut lagi, ya! Aku ingin jadi pelaut ulung seperti Ayah!”