Nadia baru saja sampai di rumah kakeknya di Desa Kemiri, Kota Pati, Jawa Tengah. Di kota yang dikenal dengan julukan Pati Bumi Mina Tani itu masih sangat asri. Nadia pun merasa betah.
Perjalanan liburan Nadia kali ini ke rumah kakek, tidak lain sebagai hadiah karena dia menjadi juara kelas. Nadia memang pintar. Tapi, tidak serta-merta membuatnya sombong. Dia mau berteman dengan siapa saja. Seperti halnya pagi ini. Ketika sedang bersantai sendirian di muka rumah kakeknya, Nadia bertemu dengan anak perempuan seumurannya yang sedang asyik menulis-nulis sesuatu di tanah dengan menggunakan pecahan genting.
“Kamu sedang main, apa? Aku boleh ikut?” tanya Nadia.
Gadis kecil berkepang dua itu malah melotot. “Tidak boleh!”
“Anak-anak dari kota besar kebanyakan kalau datang ke sini pasti hanya untuk menyombongkan diri,” gerutunya lagi.
Nadia hanya mengangkat bahu. Tidak mau memaksa.
Tak lama, Nadia melihat seorang bapak tua sedang memikul dagangan melewati rumah kakeknya.
“Dawet… dawet ….,” ucap bapak tua itu.
Nadia pun memanggil bapak tua penjual dawet itu.
“Aku mau satu gelas, Kek. Ini uangnya.” Dahulu, Nadia memang pernah dibelikan kakek dawet dan rasanya enak sekali. Jadi, dia mau meminumnya lagi.
Dengan segera, kakek itu membuatkan segelas dawet untuk Nadia.
Sambil menikmati dawet, Nadia mengajak kakek penjual dawet mengobrol.
“Dawet itu terbuat dari apa ya, Kek, kok bisa seenak ini?”
“Dari pati ketela, Nduk. Karena cerita dawet yang cendolnya terbuat dari tepung pati-lah nama kota ini dinamakan Pati.”
“Oh, iya?”
Nadia menyendoki cendol di dawet sambil duduk di kursi plastik yang disediakan kakek itu. Tapi, tiba-tiba dia melihat gadis berkepang dua tadi sedang memperhatikannya. Tanpa menunggu lama, Nadia membisiki kakek penjual dawet. Si kakek mengangguk. Segera menyerahkan segelas dawet lagi kepada Nadia. Kemudian, Nadia mendekati si gadis kecil dan menyerahkan segelas dawet kepadanya.
“Ini untukmu. Terimalah!” kata Nadia.
Gadis kecil itu merasa kaget. Dengan ragu-ragu, dia menerima segelas dawet. Namun, selanjutnya dia tersenyum.
“Aku hanya ingin berteman denganmu. Namaku Nadia!” ujar Nadia sambil mengulurkan tangannya. Gadis kecil itu pun menyambut uluran tangan Nadia.
“Ida,” jawab si gadis kecil.
Gadis kecil bernama Ida itu kemudian berkata lagi, “Meskipun kamu anak dari kota, tapi ternyata kamu tidak sombong. Kamu baik dan juga rendah hati.”
Nadia hanya tersenyum. “Iya, berbuat sombong itu tidak ada gunanya. Kalau kita sombong, pasti akan dijauhi orang. Yuk, Ida! Kita minum dawetnya sambil mendengarkan cerita kakek itu tentang Kota Pati!”
Ida pun mengangguk.
Setelah peristiwa itu, Nadia dan Ida pun mulai berteman akrab. Mereka akhirnya menjadi sepasang sahabat yang baik.