Siang hari, Wayan baru pulang sekolah bersama Putu, Nyoman, dan Gentar. Mereka adalah anak-anak Kampung Batubulan, Kabupaten Gianyar, Bali. Mereka juga murid-murid Pak Ketut di sanggar tari. Pak Ketut adalah seorang seniman tari.
Anak-anak di Kampung Batubulan, baik laki-laki maupun perempuan sejak kecil memang sudah dibiasakan menari.
“Jangan lupa nanti kita latihan untuk persiapan lomba menari minggu depan,” ujar Nyoman.
“Siap!” serempak Putu dan Gentar penuh semangat. Namun, Wayan diam saja.
"Kamu tidak ikut, Wayan?" tanya Gentar.
"Ah, hari ini aku tidak latihan! Aku kan sudah jago. Lagi pula, aku sering dapat pujian dari Pak Ketut,” jawab Wayan membanggakan diri.
Mereka pun akhirnya berpisah ke rumah masing-masing. Setelah ganti baju, Nyoman, Putu, dan Gentar pergi ke sanggar tari Pak Ketut untuk latihan. Sementara itu, Wayan tidak ikut berlatih.
Mereka berlatih Tari Gopala, salah satu jenis tarian kerakyatan di Bali yang menjadi tarian wajib dalam lomba menari itu. Tari Gopala adalah tari kelompok yang menggambarkan tingkah laku sekelompok penggembala sapi di suatu ladang pengembalaan.
Keesokan hari, Nyoman, Putu, dan Gentar masih terus rajin berlatih. Wayan justru kadang ikut latihan, kadang tidak. Ia pun saat latihan suka malas-malasan. Akhirnya, ia kerap kena tegur Pak Ketut.
Tidak terasa waktu lomba menari pun tiba. Setelah tampil beberapa kelompok tari lainnya, kini giliran kelompok Putu, Nyoman, Gentar, dan Wayan yang akan mentas membawakan Tari Gopala.
Sayangnya, saat tampil di panggung lomba itu, Wayan beberapa kali kedodoran dan tidak kompak dengan teman-temannya dalam gerakan tarian. Akhirnya, kelompok mereka gagal memenangkan lomba menari.
Wayan yang mengetahui kelompok tarinya kalah, langsung menyadari bahwa ini semua karena sikapnya yang sombong dan menyepelekan latihan.
“Maafkan aku ya, teman-teman. Karena aku, kelompok kita gagal,” ucap Wayan pelan sambil menunduk.
“Iya, ini karena kamu! Karena kamu merasa paling jago menari, jadi membuat kamu tinggi hati dan menyepelekan latihan. Sekarang, kamu tahu kan akibatnya,” kesal Gentar.
Wayan pun terdiam. Ia lalu kembali meminta maaf menyesali semua sikapnya selama ini.
“Ya sudah kalau kamu sudah menyesali kesalahanmu. Kami maafkan. Mungkin, kita belum saatnya memenangkan perlombaan ini,” kata Nyoman kemudian.
Wayan berterima kasih pada teman-temannya yang akhirnya mau memaafkannya. Ia berjanji dalam hati untuk mengubah sikap sombongnya selama ini. Ia ingin menjadi anak yang rendah hati seperti teman-teman baiknya itu.