Sekolah Sari libur dua hari. Oleh karena itu, Sari diajak ibunya berkunjung ke rumah sepupunya, Mita. Rumah Mita terletak tidak jauh dari Pantai Kartini, Jepara, Jawa Tengah.
“Aku senang sekali kamu datang.” Mita menyambut sepupunya dengan riang.
“Aku juga senang bisa ke sini lagi.” Sari tidak kalah gembira. Biasanya mereka selalu menghabiskan waktu bersama kalau sudah berkumpul.
“Ayo, ke kamarku. Kita bermain di sana.” Mita langsung mengapit lengan Sari.
“Siap! Aku tidak sabar melihat koleksi boneka kamu.” Sari sangat bersemangat.
Sesampainya di kamar Mita, mata Sari terbelalak, “Wah, koleksi boneka kamu bertambah banyak sekali. Sangat bagus-bagus.” Sari selalu takjub ketika melihat koleksi boneka Mita. Setiap ke rumah sepupunya, boneka Mita pasti sudah bertambah.
“Apanya yang bagus, Sar? Boneka-bonekaku ini sudah ketinggalan zaman.” Mita mengerucutkan bibirnya.
“Benarkah? Menurutku ini sudah sangat bagus.” Sari mengambil salah satu boneka koleksi Mita.
“Ini masih kalah dengan boneka-boneka punya Lia, teman yang tinggal di samping rumahku. Koleksi boneka Lia itu sangat lengkap. Lia punya banyak boneka koleksi keluaran terbaru. Aku iri sekali padanya. Ketika aku meminta ibu untuk membelikan boneka koleksi terbaru seperti yang dimiliki Lia, ibu tidak mau membelikannya,” keluh Mita.
Sari hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Mita.
“Ibuku menyebalkan, kan? Minta boneka koleksi keluaran terbaru saja tidak boleh.” Mita masih cemberut.
“Jangan berkata begitu, Mit. Mana ada ibu yang menyebalkan? Setahuku, setiap ibu pasti selalu menyayangi anaknya,” jelas Sari panjang lebar.
“Kalau memang sayang... Ibu pasti mau membelikan aku boneka koleksi terbaru, Sar.” Mita masih ngotot.
“Tidak begitu, Mit. Aku tidak pernah dibelikan boneka. Tapi, aku tahu ibu selalu sayang denganku.”
Mita kaget mendengar ucapan Sari itu. “Kamu tidak pernah dibelikan boneka?”
“Iya. Ibu lebih suka membelikanku buku. Makanya, aku senang sekali kalau main ke rumahmu. Aku bisa meminjam bonekamu.” Sari bercerita dengan riang. Tidak terdengar nada sedih dari ceritanya.
Mita pun tercenung sejenak. Ia lalu berkata, “Kupikir, aku adalah anak yang malang karena ibu tidak mau menuruti keinginanku membeli boneka koleksi terbaru. Aku jadi sungguh malu padamu, Sar. Aku tidak pernah menghargai pemberian ibu. Harusnya aku lebih banyak bersyukur, ya?”
“Yang penting, kan kamu sudah menyadarinya. Yuk, kita jadi main boneka, kan? Sari dengan cepat menghibur Mita.
Sejak saat itu, Mita pun berjanji dalam hatinya akan lebih menghargai pemberian ibunya. Ia juga berniat untuk meminta maaf pada ibunya.