Suatu pagi di sebuah rumah di daerah Gresik, Jawa Timur.
“Sembilan puluh sembilan … Seratus ... Sudah pas, Bu. Tyas berangkat dulu, ya.” Tyas mencium tangan ibunya, lalu dengan penuh semangat berjalan kaki menuju sekolah sambil membawa wadah berisi jubung.
Sekolah masih sepi. Setelah menaruh tas di kelas, Tyas bergegas membawa jubung ke rumah Bu Nurul yang terletak tak jauh dari sekolahnya. Di depan gerbang sekolah, ia berpapasan dengan Ella dan Nelly.
“Tyas, minta jubungnya satu, dong,” kata Ella.
“Maaf, jumlahnya pas, El.” Tyas tersenyum.
“Huh, kamu memang pelit. Masa’ minta satu saja tidak boleh.”
“Iya, Tyas. Cuma satu saja, kok.” Nelly memaksa untuk membuka wadah jubung.
“Jangaaan!” elak Tyas.
Ella dan Nelly bergegas pergi sambil berbisik-bisik. Tyas sedih melihat sikap mereka berdua, tapi ia tetap tersenyum. Ia tak peduli sikap kedua temannya itu asalkan bisa menyerahkan jubung pesanan Bu Nurul dengan jumlah utuh.
Sudah tiga bulan ini ibu Tyas menerima pesanan jubung, jenang khas Gresik yang dibuat dari ketan hitam dan ditaburi wijen. Kemasannya berupa daun pohon pinang muda, berwarna putih kecoklatan, dan dililitkan seperti gelas mini.
Setiap hari Tyas membawa seratus jubung pesanan Bu Nurul saat ke sekolah. Ia sengaja datang pagi-pagi agar bisa menyetor jenang khas tersebut sebelum bel masuk berbunyi. Bu Nurul mempunyai toko yang khusus menjual makanan khas Gresik seperti otak-otak bandeng dan jubung. Bu Nurul menyukai jubung buatan ibunya Tyas karena memiliki rasa manis yang pas di lidah.
“Tyas, nanti bilang ibumu, ya. Jubungnya mulai besok tambah lima puluh, soalnya banyak pesanan dari luar kota,” kata Bu Nurul.
“Alhamdulillah. Iya, Bu. Nanti saya sampaikan.” Tyas lekas bergegas kembali ke sekolah. Sebentar kemudian, bel masuk pun berbunyi.
Keesokan harinya, Tyas bertemu dengan teman-temannya lagi di sekolah.
“Eh, jangan main sama Tyas. Dia kan, pelit.” Ella menarik tangan Nelly.
“Tunggu,” kata Tyas. Ia menyodorkan kotak kardus kepada Ella dan Nelly. “Ini buat kalian.”
Ella dan Nelly sama-sama membuka kotak kardus yang ternyata berisi delapan buah jubung.
“Maaf kalau kemarin aku belum bisa memberi jubung buat kalian. Jumlahnya sudah pas untuk pesanan Bu Nurul. Bu Nurul memang baik. Beliau selalu percaya dan tak pernah menghitung jumlah jubung yang kusetor. Tapi, aku tidak mau bohong karena Tuhan selalu melihat perbuatan kita. Ini tadi ibuku sengaja membuat lebih sebagai rasa syukur karena pesanan Bu Nurul bertambah.”
Ella dan Nelly terdiam karena malu. “Maafkan kami juga, Tyas. Kamu benar-benar anak yang jujur,” kata Ella kemudian.
Ella dan Nelly lalu menyalami Tyas. Tyas tersenyum senang. Mereka bertiga lalu kembali bermain bersama.