“Sari berangkat dulu, Bu.” Sari pamit sambil mencium tangan ibunya.
“Hati-hati di jalan, Sayang,” pesan ibunya.
Hari ini Sari mendapat jatah piket kelas. Sari duduk di bangku kelas empat di SDN 1 Mutiara, Jepara, Jawa Tengah.
Sampai di sekolah ternyata kelasnya masih sepi.
“Baiklah sambil menunggu, aku mulai menyapu kelas saja,” gumamnya dalam hati. Sari lalu mulai menyapu.
Saat sedang asyik menyapu, Sari terpaku melihat selembar uang di hadapannya.
“Lho, bukankah ini uang Rp 100.000? Uang milik siapa ya?” Sari tampak kaget.
Saat masih serius memperhatikan uang itu, tiba-tiba Sari mendengar suara Karin.
“Uang siapa Sar? Banyak sekali?” tanya Karin yang baru sampai.
“Eh... Karin. Ini aku menemukannya saat menyapu,” jelas Sari.
“Asyik dong, Sar. Bisa dibuat jajan atau beli apa yang kamu suka.” Karin terlihat semangat.
“Tapi, kan ini bukan uangku, Karin,” tukas Sari.
“Tapi, kan kamu yang menemukannya, jadi uang itu jadi miliki kamu dong, Sar.” Karin meyakinkan Sari.
“Masak seperti itu...? Aku tidak yakin, Rin. Ya sudah, deh nanti aku lapor sama Bu Luluk saja,” ujar Sari.
“Kenapa kamu harus lapor, Sar?” tanya Karin bingung. “Kan, tidak ada yang melihat kalau kamu menemukan uang itu. Lebih baik kamu pakai sendiri.”
“Tidak, ah,” tukas Sari. “Tuhan itu Maha Melihat, Rin. Aku takut. Ini, kan bukan uangku. Barangkali ada yang sedang sedih mencari uang ini.”
“Itu, kan salah yang punya karena teledor. Kalau aku jadi kamu, pasti uangnya aku pakai sendiri!”
“Sudah, ah kita bahas uangnya nanti lagi. Lebih baik kita selesaikan tugas piket ini sebelum kelas masuk.” Sari mengingatkan tugas mereka.
“Eh, iya, sampai lupa.” Karin nyengir. Mereka pun membersihkan kelas bersama-sama.
“Akhirnya selesai juga.” Sari dan Karin mengucapkannya bersama-sama.
“Kalau begitu, aku ke kantor guru dulu, ya. Mau menyerahkan uang ini.” Sari meninggalkan Karin.
Di kantor guru, Sari menyerahkan uang itu pada Bu Luluk, wali kelasnya. Di sana, Sari akhirnya tahu kalau uang itu adalah milik Pak Slamet, guru agama Sari.
“Terima kasih, Sari. Kamu telah menolong Bapak. Uang ini sangat Bapak butuhkan untuk membeli obat bagi istri Bapak yang sedang sakit di rumah. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu yaa, Sari!” ungkap Pak Slamet yang tampak. Lega uangnya ditemukan.
“Iya sama-sama, Bapak,” jawab Sari. Dalam hatinya, ia merasa bahagia karena dengan kejujurannya ia bisa membantu Pak Slamet, gurunya yang sedang kesulitan. Sari juga merasa bangga karena ia tak tergoda untuk memiliki uang yang bukan haknya seperti yang disarankan Karin. Sari selalu ingat pesan kedua orangtuanya bahwa kejujuran adalah pangkal dari kepercayaan. Orang jujur selalu disayang Tuhan YME.