AUDIO

Sapu Yang Patah

Penulis: Iliana Loelianto


Sore itu, Didit hendak mengerjakan PR Matematika yang diberikan Bu Laksmi. Namun, ketika ia membuka tasnya, Didit tak menemukan buku pelajarannya.

“Aduh, pasti ketinggalan di kelas,” Didit menepuk keningnya.

Setelah berpamitan pada Ibu, Didit mengayuh sepeda untuk kembali ke sekolahnya di SD Sudirman, Kota Makassar. Didit lekas menuju kelasnya.

Didit bersorak riang begitu menemukan buku matematikanya di laci meja. Saking senangnya, Didit berlari dengan cepat. Namun, langkahnya tersandung sesuatu hingga menghasilkan bunyi.

“Pletak!”

Alangkah terkejutnya Didit, saat mendapati sapu kelasnya sudah terbelah menjadi dua bagian. Didit lalu membiarkan sapu itu begitu saja di lantai, lalu berlari pulang ke rumah.

Esok harinya, saat Bu Laksmi masuk ke dalam kelas.

"Bu, sapu kelas kita patah." Alin selaku ketua kelas memberitahu.

Didit terkejut. Ia gelisah bukan main.

Sebentar lagi Bu Laksmi pasti akan mencari tahu pelakunya. Akan tetapi, Bu Laksmi ternyata hanya melirik sapu itu sekilas.

"Ayo, kumpulkan PR kalian."

Dahi Didit berkerut bingung. Mengapa Bu Laksmi tidak mempermasalahkan sapu kelas yang patah itu.

Seharusnya Didit merasa senang karena Bu Laksmi tidak bertanya tentang sapu yang patah. Tetapi, ia justru terus kepikiran.

Sepanjang pelajaran Didit tak bisa berkonsentrasi. Rasa bersalah menyelinap di hatinya. Ia tak enak hati dengan sapu kelas yang patah itu.

Pulang sekolah Didit akhirnya memberanikan diri menghadap Bu Laksmi di ruang guru. Ia mengakui perbuatannya.

"Saya minta maaf, Bu. Saya sungguh tidak sengaja menginjaknya."

Bu Lakmi menepuk pundak Didit sambil tersenyum. "Ibu senang dengan pengakuan dan permintaan maaf darimu, Didit. Ibu memang sengaja diam dan menunggu ada dari kalian yang mengaku," kata Bu Laksmi.

“Saya janji akan bertanggung jawab, Bu,” lanjut Didit.

“Bagaimana caranya, Didit?”

Didit tampak berpikir sejenak lalu menjawab, “Saya bisa menyisihkan uang jajan saya untuk mengganti sapu yang patah itu, Bu.” Bu Laksmi merasa lega karena Didit bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Baiklah, Didit. Kamu tak perlu kok, mengganti sapu yang patah itu. Karena sekolah kita juga baru saja mendapat kiriman seperangkat sapu baru dan alat kebersihan lainnya dari pihak berwenang. Yang penting, kamu sudah punya kesadaran untuk jujur dan bertanggung jawab. Dengan terbiasa sejak kecil kamu terlatih bertanggung-jawab, saat dewasa nanti kamu akan bisa lebih mandiri dalam kehidupan. Jadi tidak sia-sia pelajaran berharga ini, Didit,” nasihat Ibu Laksmi.

Didit pun mengangguk dan berterima kasih pada Bu Laksmi.