Mudik Lebaran ini Taniya berkunjung ke rumah nenek di Banyuwangi, Jawa Timur. Rumah nenek terletak di Desa Gintangan yang terkenal dengan hasil kerajinan tangan bambu, seperti tas, topi, kursi, dan gelang. Sudah seminggu Taniya bersama kedua orangtuanya berlebaran di sana. Besok Taniya kembali ke Jakarta. Nenek dan ibu menyiapkan oleh-oleh yang akan dibawa.
“Bu…, aku mau kasih oleh-oleh untuk Putri dan Feby. Aku mau kasih Feby tas anyaman ini. Kalau Putri aku kasih gelang manik ini saja,” ujar Taniya.
“Loh kok beda Tan? Feby dan Putri ‘kan sama-sama sahabat kamu,” Ibunya heran.
“Putri ‘kan suka pelit, Bu. Kalau Feby tidak pelit,” ujar Taniya.
Ibunya lalu berkata, “Taniya tidak boleh membeda-bedakan hanya karena teman yang satu kamu anggap pelit. Kamu harus adil sama rata supaya tidak timbul kesalahpahaman. Kalau misal Ibu kasih oleh-oleh yang lebih jelek untukmu, bagaimana perasaanmu?” tanya ibu.
“Ya tidak mau, Bu. Aku pasti sebel dan kecewa,” sahut Taniya.
“Nah, lagipula ‘kan Taniya beli tas rajutnya tiga. Yang dua untuk Putri dan Feby, ya?” lanjut ibu.
“Iya, deh, Bu.” Taniya mengangguk.
Hari ini sudah masuk sekolah. Murid-murid SDN Bunga Bangsa Jakarta melakukan halalbihalal dengan kepala sekolah dan para guru. Kemudian saat di kelas, ketiga sahabat, Taniya, Putri dan Feby saling bertukar oleh-oleh mudik. Ternyata Putri membawa oleh-oleh jam tangan kayu dari Bandung.
“Teman-teman, ini oleh-oleh dariku,” ucap Putri.
Taniya merasa kaget, karena oleh-oleh jam tangan yang diberikan Putri itu sangat bagus dan unik, dan pastilah harganya tidak murah.
Dalam hatinya, Taniya membenarkan kata-kata ibunya, yang menyuruhnya bertindak adil dengan tidak membeda-bedakan oleh-oleh bagi kedua sahabatnya itu. Tania pun bergumam dalam hati, Coba, kalau aku jadi memberi oleh-oleh yang lebih murah kepada Putri. Pasti Putri akan merasa bersedih.
“Wah, bagus sekali oleh-oleh dari kamu, Putri!” puji Taniya, sambil mengeluarkan tas anyaman bambu yang lalu diberikan kepada kedua sahabatnya itu. Kedua sahabatnya pun merasa senang.
“Eh, kalau Feby bawa oleh-oleh apa dari Brebes?” tanya Putri kemudian.
“Telur asin. He he he…” Feby berkata malu-malu. “Maaf yaa, aku tidak sempat ke toko suvenir kerajinan tangan saat mudik ke rumah Kakek. Jadi, oleh-olehnya yaa telur asin ini.”
“Ha ha… Tidak apa-apa, Feby. Ini malah makanan kesukaanku! Asyik!” kata Putri kemudian. Taniya juga merasa senang dengan oleh-oleh Feby itu. Ia kini menyadari, yang terpenting bukan oleh-oleh mahal yang dibawa oleh masing-masing dari mereka. Namun perhatian kepada sahabat, itu yang jauh lebih penting.
Ketiga sahabat itu lalu saling bertukar cerita pengalaman seru mudik masing-masing.